Sebagai seorang peminat linguistik, menerjemahkan adalah salah satu hal yang kunikmati. Aku yakin bahwa menerjemahkan memberikan penguatan terhadap apa yang ingin kucapai sebagai seorang ahli linguistik. Meskipun menyenangkan, menerjemahkan bisa sangat menguras tenaga.
Banyak orang yang berpikir bahwa sudah ada google.translate, harusnya menerjemahkan tidak sesulit itu, bukan? Tidak sedikit yang beranggapan bahwa menerjemahkan hanya mengganti satu kata di sebuah bahasa dengan kata yang memiliki arti sama di bahasa lain sehingga cenderung meremehkan penerjemah dan penerjemahan.
Pada tulisan kali ini aku akan berfokus pada bagaimana penerjemah bekerja, dan proses mental apa yang terjadi saat mereka menerjemahkan. Aku juga akan menceritakan sedikit tentang tarif penerjemah. Oya, karena ini pengalamanku, maka tulisan ini memiliki subjektivitas yang besar. Barangkali ada penerjemah lain yang tidak sependapat, dan mau berkomentar, aku persilakan 🙂
Apa itu “translation” atau “menerjemahkan?”
Menerjemahkan pada dasarnya bentuk komunikasi makna, di mana satu kalimat di sebuah bahasa disampaikan ke dalam bahasa lain dengan kalimat yang ekuivalen (mempertahankan makna). Sebagai contoh, kita mau mengatakan “we want to make them feel at home” di Bahasa Indonesia. Tentunya kalau kita mau menerjemahkan itu secara harfiah, kita bisa mengatakan “kami mau membuat mereka merasa di rumah.” Sebagai orang Indonesia, saya merasa ada yang kurang dengan kalimat ini.
Kedua kalimat di atas terlihat sama persis, tetapi komunikasi maknanya kurang tersampaikan. Kenapa? Karena di bahasa target (dalam hal ini Bahasa Indonesia), kita tidak mengatakan itu. Secara alami, kita biasanya mengatakan “kami mau membuat mereka merasa seperti di rumah.” Ini artinya menyampaikan dengan kalimat yang ekuivalen. Memakai struktur yang alami di bahasa target, tetapi mempertahankan sebisa mungkin struktur bahasa asal.
Thought Patterns
Kalimat “I lost my keys” adalah contoh paling populer yang bisa menunjukkan betapa berbedanya English Thought Pattern dengan Indonesian Thought Pattern. Di Bahasa Inggris, peristiwa-peristiwa yang bernuansa ‘musibah’ seperti kehilangan sesuatu, terpotong/terlukai, terpukul, yang disebabkan oleh diri sendiri, dilihat sebagai peristiwa di mana subjeknya harus bertanggung jawab, baik sengaja atau tidak.
Bagaimana bunyi kalimat di atas kalau kita terjemahkan ke Bahasa Indonesia? Banyak dari kita yang akan mengatakan “Saya kehilangan kunci” atau “kunci saya hilang“, bukan “saya menghilangkan kunci saya“. Keduanya melihat ‘saya’ sebagai korban. Untuk orang Indonesia, ada perbedaan besar antara “saya kehilangan kunci” dengan “saya menghilangkan kunci“. Perbedaan imbuhan ‘ke-an’ dan ‘me-kan’ sangat berpengaruh dalam menciptakan nuansa ini.
Kalimat *)”She burned her finger while cooking” dalam logika Bahasa Indonesia mungkin tidak masuk akal. Kenapa subjek melakukan itu ke dirinya sendiri? Di sini mungkin kita bisa melihat dua hal yang berkaitan dengan thought pattern: Bahasa Indonesia (dalam kalimat-kalimat semacam ini) melihat subjek sebagai korban karena dalam Bahasa Indonesia, kesengajaan (atau ketidaksengajaan) harus dimasukkan ke dalam kalimat lewat pemakaian imbuhan; adapun di Bahasa Inggris, subjek adalah yang bertanggung jawab atas kejadian itu, tidak peduli sengaja atau tidak.
Perbedaan thought pattern ini membuat penerjemah harus berpikir apakah harus mengikuti struktur bahasa asal secara persis atau boleh ada perubahan.
*)”Jari dia terbakar” adalah cara umum yang digunakan untuk menggambarkan apa yang terjadi dengan ‘jari’ alih-alih berfokus pada ‘dia’.
Metafrase atau Parafrase?
Ya… itu pertanyaan paling utama ketika menerjemahkan. Apakah harus mempertahankan sebanyak mungkin kata (termasuk struktur) untuk mempertahankan keakuratan [metafrase] atau dibolehkan untuk mengganti kalimatnya ke dalam kalimat yang bisa jadi benar-benar berbeda asalkan maknanya sama [parafrase]. Kalimat tanpa parafrase mungkin akan membuat pembaca berpikir “aku ga pernah denger orang ngomong gini” tapi terjemahan dengan parafrase akan beresiko mengurangi akurasi. Banyak buku teks kuliahku dulu yang diterjemahkan dengan ‘aneh’ karena bukannya membuatku mengerti, aku merasa makin bingung dengan apa yang ditulis.
Perbedaan thought pattern hanya salah satu dari hal yang membuat penerjemah memutuskan apakah harus melakukan parafrase atau tidak. Hal lain yang penting adalah signifikansi budaya. Misalnya begini, kita menerjemahkan sebuah Novel berbahasa Inggris. Di dalamnya disebutkan acara TV populer di Inggris yang ditonton oleh si protagonis. Nah, apakah acara TV ini harus disebut apa adanya (dengan resiko kehilangan nuansa ‘populer’ karena di Indonesia belum tentu ada orang yang tahu acara itu)? Atau bisakah penerjemah menggantinya dengan acara TV yang populer di Indonesia (dengan resiko mengurangi akurasi dan mungkin membuat suasana latar di Novel jadi sedikit ganjil)? Atau perlukah menggunakan catatan kaki (dan membuatnya seperti Karya Tulis Ilmiah)?
Diksi (Pemilihan Kata)
Sekarang bayangkan kalian sedang dibuatkan segelas teh manis hangat. Teh itu bau melati, warnanya coklat terang, dan rasanya sedikit sepat. Ampas teh yang ada di gelas tidak mengganggu kenikmatan. Teh itu teh tubruk dan rasanya cukup kuat. Kini coba pikir, apa sih Bahasa Inggrisnya untuk ‘teh tubruk’? Apa pula Bahasa Inggrisnya ‘teh yang terlalu pahit/sepat?’
Kesulitan memilih kata di bahasa target sering terjadi ketika menerjemahkan. Apakah ‘completely forget’ berarti *)’lupa dengan lengkap’?
Hal ini bisa jadi terjadi karena memang istilah di bahasa target tidak ada karena secara kultur memang tidak dikenal. Hal ini juga bisa disebabkan karena yang namanya kolokasi (collocation) di mana kata-kata tertentu punya pasangan yang pasti dan tidak boleh diganti dengan kata lain.
Mungkin tidak ada kata di Bahasa Inggris untuk ‘teh tubruk’ (teh seduh yang berampas) tapi di Bahasa Inggris ada frasa ‘loose tea’ yang berarti daun teh kering dan bukan teh celup. Teh yang terlalu pahit/sepat mungkin adalah teh yang kuat, meskipun kita tidak pernah mengatakan itu, tetapi di Bahasa Inggris itu harus diterjemahkan sebagai ‘strong tea’ dan bukan ‘powerful tea‘.
Contoh paling umum adalah menerjemahkan kata ‘kopi pahit’ ke Bahasa Inggris. Meskipun untuk mayoritas orang Indonesia kopi (tanpa gula) identik dengan pahit, di Bahasa Inggris frasa ‘bitter coffee’ berarti kualitas minuman kopinya jelek karena diseduh terlalu lama atau airnya terlalu panas. Kopi tanpa gula di Bahasa Inggris adalah ‘black coffee’.
*)Orang Indonesian akan mengatakan ‘benar-benar lupa’ untuk frasa di atas. Bagaimana dengan ‘benar-benar menyadari’? Yang paling dekat mungkin adalah ‘fully aware’.
Bagaimana Menerjemahkan?
Karena banyaknya pertimbangan ketika menerjemahkan, aku selalu mempersiapkan kamus monolingual (hampir selalu www.oxforddictionaries.com atau Oxford Advanced Learner’s Dictionary, Kamus Besar Bahasa Indonesia), kamus bilingual (biasanya google translate), kamus tesaurus (biasanya thesaurus.com), kamus collocation (biasanya Online OXFORD Collocation Dictionary). Semua ini masih didukung oleh mesin pencari google untuk melihat apakah kata/kombinasi kata ini bisa ditemukan secara umum di tulisan-tulisan yang ada.
Biasanya untuk aku bisa menyelesaikan lebih dari 10 halaman perhari asalkan tulisannya masih cukup umum dan tidak sibuk. Kalau tulisannya cukup terspesialisasi, apalagi kalau masih harus mengajar 4-6 jam sehari, biasanya kurang dari 10. Kalau dipaksa 10 halaman sehari dalam kondisi itu, bisa stres. Hahaha.
Apakah sepadan bekerja sebagai penerjemah? Tentu saja! Untukku yang juga seorang guru bahasa, menerjemahkan memberikan perspektif baru dalam mengajar, dan pengalaman mengajar (khususnya ketika berhadapan dengan kesalahan umum yang dibuat murid) juga memberikan perspektif lain ketika menerjemahkan.
Berapa Honorarium Menerjemahkan?
Ini menarik sekali, khususnya untuk setting Indonesia. Banyak orang menawarkan terjemahan dengan beragam harga sehingga sepintas tidak ada keseragaman dan penetapan tarif jadi terkesan arbitrari antara klien dan penerjemah. Tentunya ini memang benar-benar kesepakatan antara penerjemah dengan klien. Penerjemah berhak memasang tarif dan klien berhak untuk memilih mana penerjemah yang cocok (karena tarif atau karena seberapa percaya mereka dengan penerjemah itu).
Sedihnya, kadang ada orang-orang yang tidak memahami sulitnya menerjemahkan sehingga dengan entengnya protes kalau tidak suka dengan tarifnya, bahkan aku punya kolega guru Bahasa Inggris yang menerjemahkan dengan gratis hanya karena orang itu sepupunya, padahal aku tahu kolegaku ini juga sibuk mengajar.
Ada beberapa acuan yang bisa dijadikan patokan penetapan tarif:
- Perhalaman (halaman jadi atau halaman sumber)
- Perkata (artikel jadi atau artikel sumber)
Semuanya mempertimbangkan faktor dari bahasa mana diterjemahkan (bahasa ibu ke bahasa asing biasanya lebih mahal), apakah artikel khusus/terspesialisasi, apakah harus dilakukan oleh penerjemah bersumpah, dan kapan terjemahan harus selesai. Sebagai ilustrasi, aku berikan tarif penerjemahan dari Peraturan Menteri Keuangan No.65/PMK.02/2015.
Sekarang, apa pendapat kalian tentang profesi penerjemah?
Tunggu artikel berikutnya untuk juru bahasa (interpreting), ya!
You must be logged in to post a comment.